40 Tahun Hidup di Pedalaman, Begini Nasib Daeng Abu Sekarang
Dream - Lagi-lagi keunikan suku di Indonesia menarik perhatian media asing. Seperi dilansir dari BBC, yang merasa takjub dengan kehidupan Daeng Abu yang menghabiskan 40 tahun hidupnya di sebuah pulau terpencil. Dan yang lebih mengherankannya lagi, ia mengaku hidup bahagia.
Saat Daeng Abu menyambut kedatangan tim BBC yang datang ke Pulau Cengkeh, sebuah pulau berpasir putih di lepas pantai Sulawesi, terlihat gigi ompongnya ketika tertawa lebar. Gusi tanpa gigi terlihat menganga dengan mata yang menyipit saat ia tertawa gembira. Sedangkan tangan penuh kusta mengulurkan pelukan hangat.
Foto Kredit: Theodora Sutcliffe
Daeng Abu dan istrinya, Daeng Maida telah tinggal sendirian di Pulau Cengkeh sejak tahun 1972. Dari usia pernikahan mereka yang dulunya dilaksanakan di dekat Pulau Pala, Daeng Abu memperkirakan kini mereka telah berusia 80-an. Dan ia merasa lebih tua sekitar 20 tahunan dari Maida.
Sambil bercerita, Daeng Abu mengingat-ingat bagaimana mereka bisa tinggal di sini. Hal itu bermula saat pamannya menembak ke udara tiga kali. Tempat jatuhnya peluru menjadi penentu dimana ia harus tinggal. Kemudian ia berjalan ke rumah keluarganya, dan membangun sebuah gubuk dari bambu beratap daun kelapa, lalu kehidupan pernikahan resmi dimulai.
Tanpa disadari, keduanya telah menghabiskan waktu menyelamatkan penyu dan membahas sianida atau dinamit yang telah menghancurkan terumbu karang. Selain itu, Abu juga bebas menyelam hingga kedalaman 25 meter untuk mencari kerang raksasa dan abalone. Atau menghabiskan waktu selama seminggu untuk memacing di sekitaran pulau.
Sedangkan Maida menantinya di rumah sembari memasak dan menenun. Musim terus berganti, membuat mereka terkadang bisa menikmati lezatnya ikan, namun di lain waktu hanya ada beras yang tersedia.
Hal itu membuat lima dari enam anak yang dilahirkan Maida meninggal sakit gemetaran sebelum genap berusia satu tahun. Hanya Sakka, satu-satunya anak yang bertahan. Abu menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres terhadap perkembangan Sakka. Sehingga dalam malam yang gelap gulita, ia memutuskan berangkat mendayung ke kota Makassar dan berlayar selama 12 jam.
Sedangkan saat ini, ada sebuah goresan panjang menghitam di bawah lengannya. Goresan panjang itu juga terlihat di bagian pahanya. Maida hanya menangis saat Abu menyatakan bahwa ia menderita kusta sehingga tidak bisa lagi menangkap ikan atau menyelam.
Tahun berganti, hingga pada tahun 1972 pemerintah setempat meminta relawan untuk menyelamatkan kehidupan penyu di Pulau Cengkeh. Meskipun hanya memakan waktu satu jam saja dari Pulau Pala, tak ada satu pun yang bersedia untuk datang ke Pulau Cengkeh.
Di tengah kesedihannya, Daeng Abu merasa bahwa pulau ini menjadi tempat yang paling sempurna untuk mengasingkan diri dari penyakit kusta yang dideritanya. Untuk menyambung hidup, mereka bekerja menetaskan penyu dengan imbalan dari pemerintah.
Saat beberapa orang datang ke Pulau Cengkeh dan menyadari betapa menyedihkan kehidupan mereka, semuanya menangis. Mereka mengatakan, mengapa mengasingkan diri ke pulau seperti seorang penjahat saja.
Foto Kredit: Manfred Bail / Alamy
Selama ini, Suku Bugis banyak yang menguburkan orang mati di pulau-pulau tak berpenghuni karena takut hantu. Begitu pula dengan Pulau Cengkeh yang dulunya disebut sebagai pulau mati. Bahkan hingga kini rumor mengenai roh dan orang-orang yang tenggelam masih menghantui masyarakat sekitar.
Namun sekarang Abu merasa bahwa ia sudah sembuh dari penyakitnya. Kondisi Pulau Cengkeh sudah jauh dari saat terisolasi dulu. Abu mengajarkan nelayan agar tidak merusak karang saat membunuh tangkapan. Kadang-kadang ia pun sering melaporkan pembom ikan kepada polisi.
Meskipun tingkat buta huruf masih tinggi, tapi beberapa pulau telah menyebarkan pesan micro-activisme. Dan kini karang-karang di Pulau Cengkeh kembali murni seperti sedia kala saat ia mulai menyelam lebih dari 60 tahun yang lalu.
Foto Kredit: Brandon Cole Kelautan Fotografi/Alamy
(Sumber: BBC Travel)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Doa tersebut bisa diamalkan oleh sang istri ketika menjelang persalinan maupun oleh suami yang mendampingi istrinya.
Baca SelengkapnyaAlih-alih membangunkan istrinya, si suami menjadikan tangannya sebagai bantalan kepala pujaan hatinya.
Baca SelengkapnyaMie rebus Medan, hidangan khas dari Sumatera Utara, menawarkan cita rasa istimewa dalam satu mangkuk
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Ia juga merasa diabaikan karena pesannya tak pernah dibalas mantan suaminya ini.
Baca SelengkapnyaPerjalanan itu memakan waktu hingga 6 hari dengan biaya kurang lebih Rp5 juta.
Baca SelengkapnyaBermula dari sapaan hei pasangan ini berakhir jadi suami istri.
Baca SelengkapnyaUntuk kehidupan selanjutnya, keduanya hanya mengandalkan kedermawanan orang lain untuk bertahan hidup.
Baca SelengkapnyaPasangan suami istri itu tidak pernah menyangka rencana habiskan masa tua di kampung menjadi mimpi buruk.
Baca SelengkapnyaHarapannya sang anak tumbuh sehat dan dihindarkan dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Baca Selengkapnya